Hujan yang mengguyur bumi Allah sore itu begitu tiba-tiba dan tanpa didahului oleh mendung, jalanan yang sebelumnya padat oleh kerumunan orang yang lalu lalang mendadak sepi, hanya raung kendaraan yang dipacu oleh si pengemudi yang yang mendesau-desau seolah mengalahkan pekikan halilintar yang menyelingi kecipak guyuran hujan.
Jalanan yang sedari tadi sudah menyepi mulai digenangi oleh air yang semakin meninggi. Dari balik kamar kost-anku sesekali aku sibakkan tirai penutup jendela sambil melayangkan pandangan melihat langit yang tak kunjung jernih. “hm…apa jadi ya ni acara” gumamku sendiri. Seperti orang yang berharap saja, aku tak pernah bosan menyibakkan tirai yang menutup jendela itu, mungkin tak terhitung kalinya aku menyibakkan tirai jendela kamarku. Memang, malam ini tepatnya ba’da Isya, aku telah berjanji akan ikut dalam diskusi yang digelar seorang teman dengan sejawatnya dari sebuah pergerakan Islam (sebut saja ormas X) yang konon topiknya membahas isu Negara Islam.
Seperti masih belum pupus harapan kali ini kembali aku sibakkan tirai jendela kamarku, seperti tadi, kembali kulayangkan pandangan kelangit yang masih diselimuti awan hitam pekat, sambil tertegun melihat derasnya air yang mengucur deras dari atap kost-anku, pikiranku melayang keseputaran persoalan yang ingin kami bahas nanti, kira-kira ide apa yang akan aku tawarkan nanti untuk menetralisir persoalan yang memang sudah melarut-marut ini.
Sayup-sayup dari menara Masjid al-Ikhlas Surau Balai terdengar kumandang azan pertanda sudah masuknya waktu Isya, yach. Sudah Isya tapi hujan belumlah lagi reda, sambil harap-harap cemas, aku bangkit menuju tempat berwudhu’ untuk segera memperkenankan seruanNya. Selesai shalat seperti biasa tak lupa aku bersimpuh memohon kepadaNya supaya aku diberi hidayah dan tuntunanNya dalam meniti kehidupan ini dan tak lupa juga memanjatkan doa semoga “Mak” di kampung selalu diberikan kelimpahan kesehatan yang prima.
Di luar hujan sudah semakin reda, sambil bersalin pakaian aku sempatkan juga melirik jam yang sudah menunjukkan jam 20.05, aku memang mempunyai prinsip tak mau telat jika dalam persoalan janji, kalau janji telah dibuat “hujan patuih” akan aku hadang. Setelah mengeluarkan “kekasihku” si Jupiter Z, warna hijau yang berplat BAGOJAWI itu, aku mulai mestarter dan berlalu di bawah rintik-rintik hujan yang masih lumayan membasahi. Basah oleh hujan sedikit belumlah seberapa ketimbang dengan ilmu yang ingin aku explorasikan pikirku, seperti telah menjadi pakar saja, pikirku sembari mengulum senyum sendiri sambil sedikit lebih memacu “tungganganku”.
Perlahan aku mulai memasuki pekarangan Masjid Mujahidin, sambil sesekali membunyikan klakson si “Jup” seakan ingin mengasih tau kedatanganku kepada empunya tempat.
“Assalamu’alaikum..” ucapku, menyapa seisi ruangan istirahat sahabatku itu, tampak duduk bersandar ke dinding lelaki paruh baya yang saya hanya tau beliau adalah salah seorang jamaah di masjid yang dihuni oleh temanku ini dan beliau telah menganggap sahabatku itu sebagai adiknya. Di sisi lain “menggelosoh” seorang remaja “tanggung” yang begitu melihatku melayangkan senyum simpul sembari menyahut salam yang barusan kuucapkan. Tapi aku tidak temukan sahabatku, Aldi, sebut sajalah begitu namanya. Setelah bercengkrama dengan seisi ruang yang memang sudah aku kenal dengan baik, aku dapat menyimpulkan bahwa “tamu kehormatan” yang akan menjelaskan ide perjuangan “mereka” belumlah lagi datang.
Aku pesimis mereka akan datang, melihat cuaca yang sedikit agak tidak bersahabat, namun semua keraguanku segera sirna, mendengar klakson motor yang masih menderu di luar, bergegas aku suruh Madi, remaja “tanggung” yang tinggal bersama sahabatku itu keluar menemui mereka. Benar saja tidak lama kemudian mereka sudah masuk kembali ke ruangan di mana kami masih “menggesoh” sambil bercengkrama dengan Uda Parjo. Aku melihat dua wajah yang belum lagi kekenal memasuki ruangan diiringi oleh Madi, setelah saling bertegur sapa dan saling berkenalan tahulah aku bahwa mereka yang baru dating ini masih berstatus Mahasiswa pada PT. Agama di kota ini, yang satu semester 5, Iwan sebut sajalah begitu namanya dan yang satunya lagi baru semester satu, Ahmad aku panggil.
Belumlah panjang lebar kami berucap, terdengar lagi sebuah kendaraan lagi singgah ke pelataran bangunan kami, ternyata sahabatku yang dating. Setelah ia ucapkan salam dan meletakkan bungkus bawaannya dia berucap yang barangkali memang dialamatkan kepadaku. “Lah lamo tibo, Ndan” ucapnya “oh..eh..baru sabanta ko” balasku. Ternyata bawaannya adalah nasi goring, ya kami makan dulu, hitung-hitung ngisi amunisi pikirku, ahh..seperti mau perang saja.
“jadi Negara Islam seperti apa yang saudara-saudara ormas x perjuangkan” sahabatku yang kayaknya dari tadi sudah tak sabaran, membuka segmen diskusi. Dengan sedikit keraguan Iwan coba jelaskan, keraguan itu dapat kami tangkap dari nada yang keluar dari mulutnya, seperti orang kesurupan saja sahabatku menghujaninya dengan berjubel pertanyaan yang menurutku wajar sebagai orang yang memang mempunyai unek-unek dengan ormas x ini. Merasa tak lagi kapasitasnya untuk menjelaskan kepada kami, Iwan mohon izin menjemput “suhu”nya.
Tak selang beberapa waktu, benar saja Iwan sudah kembali dengan seorang pemuda, yang aku pikir punya intelektual yang cukup untuk diajak sharing mengenai persoalan ini.
Betul saja, Ucok (demikian kami bahasakan) menjelaskan dengan amat detail kronologi dan titik akar perjuangan dengan sesekali mengutip ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi. Walau pada dasarnya kami berpikir bahwa saudara kami ini terlalu terjebak dengan tekstualitas sehingga kelihatan bahwa Islam itu sebuah ajaran yang kaku dan tidak toleran, “aku pikir Islam itu ya’lu walaa yu’la alaihi so jangan terlalu sempitlah mengejawantahkan pemahaman sebuah ayat atau hadits” potongku dalam pemaparannya. Dalam pemaparannya Ucok menyebutkan “Kondisi kaum muslim saat ini yang tidak mempunyai pemerintahan Islam mengalami keterpurukan di berbagai bidang. Hal ini dapat kita lihat dari pemikiran umat yang jumud, pendidikan yang materialistik, ekonomi yang kapitalistik, politik yang sekuleristik, kebudayaan yang hedonistik dan pergaulan yang serba permissive. Tentu saja hal ini sangat ironis karena terjadi pada umat yang diberi gelar oleh Allah SWT sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Oleh karena itu, diperlukan usaha agar umat Islam dapat bangkit dan meraih kembali gelarnya. Salah satu pemikir yang giat dalam membangkitkan pemikiran umat adalah Taqiyuddin An Nabhani. Beliau adalah seorang pemikir, politikus dan hakim Mahkamah Banding di Palestina. Pemikirannya tentang Islam dan umatnya telah menjadi bagian dalam mainstream gerakan Islam di dunia. Lebih dari itu, An Nabhani selalu menyatakan pentingnya pemerintahan Islam dalam menegakkan semua aturan yang telah diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Bagaimana metode untuk menegakkan pemerintahan Islam? Taqiyuddin An Nabhani mencoba untuk menganalisis perjalanan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ketika menjalani tahapan dakwah dan merekonstruksinya agar menjadi metode baku bagi siapa saja yang menginginkan tegaknya Islam.”
Walaupun Ucok mencoba menjelaskan dengan sedetailnya, namun tetap saja sahabatku membombardirnya dengan seabrek pertanyaan yang selama ini menghantui perasaannya, bak mendapat kesempatan emas, seolah dia tak mau melewatkan setiap depa perdepa penjabaran Ucok. Penjabaran Ucok mulai melemah dan tak lagi konsekuen dengan pembicaraan awal. “Negara Islam itu yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah” statement Ucok. “Kalau yang tidak berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, gimana” sosoh Aldi, “ya, jelas kufur”. “Jadi Negara kita, sebagai penganut demokrasi pancasila yang nota benenya tidak berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, kufur” “ya” “berarti orang Indonesia, termasuk kami adalah kafir”. Mendapatkan pertanyaan seperti ini Ucok sudah kehabisan amunisi, dia mencoba berapologi. Ditambah lagi beberapa pertanyaan yang prinsipil yang disodorkan oleh Uda Parjo.
Melihat suasana yang semakin panas, aku mencoba menengahi “Dari awal aku lebih tertarik jika diskusi ini kita giring kepada tataran praktisnya, pada tataran konsep memang kita sepakat dengan nilai-nilai yang saudara usung, tohc..tujuan kita sama kok”.
Malam begitu panjang rasanya, walaupun sudah lebih seperdua malam kami habiskan untuk mendudukkan persoalan ini, namun sepertinya selalu terperangkap oleh “daur aw tasalsul”. Yang jadi persoalan selalu sama, yang diinginkan Islam itu “jargon” atau kehidupan yang benafaskan Islam?. Akhirnya waktu jualah yang mengantarkan kami kepada segmen closing.
Closing yang disampaikan Ucok tetap pada argumennya seperti semula, belum diterima juga nggak apa apa, saya saja bertahun-tahun baru bias nerima, imbuhnya. Aku memberikan closing, mengajak teman-teman di ormas x untuk membuka diri, jangan kita seperti katak di bawah tempurung, mari juga berislam itu secara kaffah seperti yang disampaikan bung Ucok tadi, mari lihat persoalan dengan berbagai perspektif dan buka juga diri untuk membaca realitas yang ada dan yang paling terpenting hindari klaim mengklaim justifikasi dan yang senada sehingga kita tidak ikut dalam mengotori keyu’la-an Islam itu sendiri. Sahabatku memberikan penekanan tak jauh beda denganku, Cuma dia lebih menekankan pada aspek al-Qur’an dan Haditsnya (barangkali karena jurusan tafsir hadits kali ye) mulai sudah siapa saja pakar yang telah menela’ah hujjah-hujjah yang mereka suarakan.
Terang dan jelas saja kami tidak menentang isu Negara Islam ini dan bukan agent anti misi ini, cuma pada tataran teknisnya kami tidak mempersoalkan jargon, karena yang dikehendaki Islam itu bukan jargon tapi sesuatu yang substantif, pikir kami.
Begitulah jalannya malam yang masih menyisakan kabut dipikiran kami, ini belum final, kami akan menggali, kawan-kawan di ormas x juga mengkaji, aku pikir. Sepanjang itu produk manusia, sekalipun yang sudah mapan, menurutku layak dan pantas diuji dan dikaji ulang yang pada akhirnya akan membawa kepada dua kesimpulan. Pertama, akan mematangkan kemapan yang telah terbentuk atau yang kedua, membatalkan kematang itu sendiri.
Penghujung Malam, 20/02/2011
7 Komentar:
Salam sahabat
Tidak salah jika mampir disini selalu mendapat inspirasi terima kasih
betul sekali sob,, islam diciptakan dengan penuh perbedaan,, agar masyarakat bisa menghargai perbedaan,,
sekedar info saya follower ke 30,,
tuker link yuk sob di
Klik untuk menjalin persaudaraan dengan rezaprama|bloggersmp
Klik untuk tukeran link dengan rezaprama|bloggersmp
sunggu adem topiknya.. :)
@Dhana/戴安娜 Makasih mbak, atas sanjungannya, saya banyak belajar dr mbak lhoo.....
@Reza Prama Thank's atas apresiasinya sobat, segera saya akan follow back...
@TUKANG CoLoNG Maksih gan, jangan pernah bosan dan sungkan ya tuk nyatain saran or kritik ya...
salam sahabat
maaf telat membalas kunjungan yang kemarin dan kemarin soalnya saya sibuk mas maaf ya
@Dhana/戴安娜nggak apa apa mbak, thank's ya atas kunjungannya...
mampir sob numpang lewat nanti mampir lagi....
Posting Komentar