Harian Umum Interpos, 14/08/2012
Oleh: Usman Jambak*
Menjelang lebaran datang, tepatnya
hitungan beberapa hari menjelang lebaran, kata-kata ‘mudik’ menjadi sangat
populer. Bagi masyarakat yang berada diperantauan akan menggunakan momen dan
kesempatan ini untuk pulang kampung menjenguk orang tua, kerabat, handai-tolan
atau sekedar melihat ‘ranah tapian’ yang sydah lama ditinggalkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan “mudik adalah berlayar ke hulu, pulang kampung/ menuju desa”. Dengan
demikian mudik merupakan suatu upaya untuk kembali berlayar ke hulu atau pulang
kampung setelah beberapa lama berada di hilir atau di daerah perantauan. Dari
pengertian ini, muncul pertanyaan yang cukup menggelitik untuk kita cermati,
mudik kok hanya dikenal ketika mau lebaran saja?. Sejak kapan ‘mudik’ menjadi
sebuah tradisi musiman?.
Sebagaimana kita pahami dan kita
maklumi bahwa bangunan struktur masyarakat Indonesia sebagian besar terdiri
dari penganut agama Islam. Bagi penganut agama Islam Idul Fitri merupakan salah
satu hari besar keagamaan, hari merayakan kemenagan umat Islam. Dalam
tradisinya, merayakan hari raya Idul Futri ini sangat baik apabila dirayakan
bersama keluarga besar di kampung halaman untuk saling bermaaf-maafan di antara
mereka. Oleh karena itu masyarakat urban/perantauan banyak yang memiliki
persepsi, tiada hari yang lebih baik dan lebih indah untuk kembali ke kampung
halaman dan berkumpul bersama keluarga kecuali pada saat lebaran. Mudik lebaran
tidak semata-mata milik warga perantauan yang berkantong tebal akan tetapi juga
oleh kaum pinggiran yang mengais rezeki di kota. Hal ini dapat kita saksikan
betapa banyaknya pemudik yang menggunakan kendaraan becak mesin, sepeda motor
untuk menempuh perjalanan jauh menuju kampung halaman setiap menjelang lebaran
terutama oleh pemudik di Sumatera dan bahkan ada yang hanya merantau ‘subaliak dapua’ (belakang dapur-red)
mengejar tradisi mudik lebaran ini dengan sangat antusiasnya.
Besarnya minat pemudik untuk merayakan
Idul Fitri di kampung halaman sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh pesan
moral yang ditanamkan para orang tua kepada anak-anaknya yang hendak pergi
merantau, baik untuk tujuan pendidikan maupun untuk mencari kehidupan yang
lebih baik. Para orang tua yang hendak ditinggal pergi sang anak, biasanya
tidak lupa menanamkan pesan moral yaitu, apabila berhasil kelak dalam
mengarungi kerasnya kehidupan kota supaya tidak lupa dengan kampung halaman tempat
orang tua membesarkannya. Sejauh kaki melangkah, janganlah sekali-kali lupa
dengan kampung halaman. Fenomena ini digambarkan dengan legenda yang sangat
terkenal seperti Malin Kundang di Sumatera Barat, apabila lupa dengan kampung
halaman berarti juga akan lupa dengan kedua orang tua yang senantiasa menanti
kedatangan anak kesayangannya.
Falsafah hidup yang diwariskan secara
turun-temurun ini, ikatan bathin antara warga perantau dengan masyarakat di
kampung halaman tidak akan mudah terputus walau sudah lama meninggalkan daerah
asal, panggilan jiwa ke kampung halaman bersama sanak keluarga senantiasa
mengiang untuk melihat kembali tempat bermain di kala usia belia, berjumpa
dengan sahabat lama, melepas rindu dengan sanak keluarga dan yang terpenting
adalah memohon maaf dan sembah sujud di hadapan kedua ibu/bapak.
Suasana yang paling tepat untuk itu
adalah di saat Idul Fitri tiba karena rekan-rekan perantau yang lain biasanya
juga banyak yang pulang kampung sehingga menjadi moment yang tepat untuk
berjumpa dan mengenang kembali saat-saat kecil sambil bercengkrama nan serba
lucu dan indah untuk dikenang.
Resiko Mudik
Setiap menjelang Idul Fitri, perjuangan
pemudik menuju kampung halaman tidaklah semudah membalikkan telapak tangan dan
berjalan sesuai dengan rencana yang sudah diatur. Berjuang dengan
mempertaruhkan nyawa merupakan prediket yang tidak berlebihan yang disandangkan
kepada para pemudik sejati. Betapa tidak, untuk memperjuangkan agenda mudik,
para pemudik tersebut rela-relaan sewa becak atau malah memberanikan diri
mengendarai kendaraan roda dua dalam perjalanan yang lumayan jauh. Terminal
bus, stasion kereta api, bandara dan pelabuhan sebagai alur mudik penuh sesak
bak lautan manusia tidak menyurutkan hasrat mereka menuju kampung halaman.
Belum lagi jalanan yang penuh sesak dengan kendaraan yang dikemudikan tanpa
aturan.
Selain dari risiko keselamatan, apabila
dilihat dari segi biaya yang dikeluarkan pemudik juga memerlukan rupiah yang
tidak sedikit, penghasilan satu tahun habis untuk merayakan satu kali Idul
Fitri. Demikian mitos yang dianut masyarakat pemudik di beberapa daerah kita
ini.
Memaknai Lebaran
Ekspresi dan tampilan Idul Fitri sebagai
“Iduna Ahlil Islam” kata Nabi “Hari Raya kami penganut Islam”. Sebagai “yaumu
aklin wa syurbin wa bahjatin” yakni hari makan-minum dan bersuka cita.
Sehingga diharamkan berpuasa pada hari ini dan diwajibkan kepada seluruh
ahlul Islam memastikan tidak ada seorang anak muslim pun yang tidak ikut
berlebaran. Demi kebesaran hari ini maka harus terbebas dari pengemis. Untuk
itu secara khusus zakatul fitri diwajibkan.
Dengan menjalankan puasa Ramadhan secara benar
ada jaminan dibersihkan dari dosa vertikal dan dengan silaturahim saling
memaafkan/membebaskan maka sesama muslim akan terbebas dari dosa horizontal.
Dengan begitu Idul Fitri juga bermakna kembali kepada kesucian terbebas dari
dosa perdosa. Kembali seperti bersihnya seorang bayi yang dlahirkan dalam
fithrah, tidak membawa beban dosa apapun. Dalam kondisi fithri maka setiap
insan siap untuk menerima agama Allah yang fithri, yaitu agama Islam dan agama
tauhid.
Mudik dan merayakan Idul Fitri di
kampung halaman dapat dijadikan momentum awal kebangkitan untuk meraih prestasi
dan karier yang lebih baik di masa yang akan datang. Sesungguhnya tiada manusia
yang luput dari dosa dan kesalahan, justru itu moment yang tepat untuk
menganalisa diri, introspeksi diri sebagai cermin untuk melihat jati diri yang
sesungguhnya adalah pada hari yang fitri ini, kemudian memulai hidup yang lebih
jernih, suci dengan meninggalkan kesalahan, kesombongan dan dosa-dosa yang
diperbuat sebelumnya.
Harapan kita, semoga pemudik yang akan
berangkat menuju kampung halaman pada lebaran tahun 1433 H senantiasa berjalan
dengan semestinya, Amiiin...***
*Peneliti KAJI Institute Kota Padang