KORUPSI: POTONG TANGAN
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Maidah:(5):38)
Mencuri adalah mengambil sesuatu yang bukan milik secara sembunyi-sembunyi. Pelakunya disebut dengan pencuri. Pencuri dalam istilah al-Qur’an disebut dengan sariqu. Kata sariqu dan derivasinya dapat ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak delapan kali (Muhammad Ismail Ibrahim:1970). Dalam dinamika hukum Islam terhadap pelaku pencurian ini diberlakukan hukuman potong tangan sebagaimana amanat firman Allah dalam Qs. Al-Maidah: 38.
Dalam pelaksanaan hukuman potong tangan ini diberlakukan hukuman potong tangan dengan cara silang dengan artian jika si pelaku melakukan pencurian untuk kali yang pertama maka dipotong tangan kanannya mulai dari pergelangan tangannya dan jika mengulanginya untuk kali yang kedua dipotong kaki kirinya. Jika ternyata masih belum jera dan mengulangi untuk kali yang ketiga kalinya maka dipotong tangan kirinya, jika masih mengulangi untuk kali berikutnya maka yang dipotong kaki kananya. Jika setelah itu masih belum jera dan masih mengulangi perbuatannya maka hukuman ta’zir dan penjara diberlakukan atasnya, demikianlah yang dijelaskan oleh imam Syafi’i dan yang lainnya.
Unsur-unsur yang harus ada pada pelaku yang akan diberlakukan hukuman potong tangan adalah mukallaf, baligh, berakal, tidak dipaksa dan terpaksa. Untuk kadar harta yang dicuri menurut ulama Hanafiyah adalah 1 (satu) dinar = 10 (sepuluh) dirham = 4, 5 (empat koma lima) gram emas. Sedangkan menurut jumhur ulama, kadar itu adalah ¼ (satuperempat) dinar = 3 (tiga) dirham = 1,125 gram emas. (sumber: Abdul Aziz Dahlan: 1997).
Jika dicermati politik hukum yang terkandung dalam amanat firman Allah Qs. Al-Maidah: 38 “jaza’ bima kasaba nakalan min Allah wa Allah Aziz Hakim” artinya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, maka penetapan hukuman potong tangan adalah menjerakan dan sebagai pelajaran bagi orang lain agar tidak menirunya.
Solusi Untuk Kasus Korupsi
Korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 pasal UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) merupakan suatu tindakan yang merugikan kepentingan public atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi.
Mencermati kasus korupsi di Negara Indonesia yang tercinta ini, sepertinya kita sedang menonton atau dipertontonkan dengan sebuah sinetron yang tidak jelas ujung pangkalnya, belum lagi satu kasus terselesaikan, muncul kasus baru. Kasus baru ditangani, kasus lama hilang dari peredaran. Pada giliran berikutnya, muncul lagi kasus baru dan yang anehnya pelakunya ternyata pernah melakukan hal yang sama sebelumnya.
Barangkali dari perjalanan panjang kasus korupsi yang melanda bangsa ini akan “memaksa” kita mengambil kongklusi bahwa hukuman yang diterapkan bagi pelaku korupsi tidak lagi ampuh dan mujarab.
Koruptor yang notabene telah meraup, mencuri harta rakyat, jutaan bahkan milyaran rupiah, kenapa hanya diberlakukan hukuman penjara?. Sejauh mana hukuman penjara mampu membuat jera si pelaku?. Ternyata untuk menjawab hal tersebut tidak sulit, cukup dengan melihat realita yang dihadapi oleh bangsa kita saat ini.
Jika pemimpin berani mengambil sikap untuk menerapkan hukuman potong tangan terhadap pelaku “pencuri berdasi” ini, barangkali warnanya akan lain. Tapi sayang, pemimpin tidak terlalu berani untuk merealisasikan hukuman ini dengan berbagai dalih seperti Negara kita bukan Negara Islam melainkan Negara hukum. Persoalannya bukan Negara Islam atau bukan tapi bagaimana menetapkan hukuman yang akan membuat jera pelakunya.
Bukankah rentang sejarah telah membuktikan bahwa penerapan hukum potong tangan dapat membuat kehidupan menjadi tentram sebagai salah satu bukti di Banten, hukum potong tangan dilaksanakan bagi mereka yang terbukti mencuri. Pelaksanaan hukum ini berlangsung pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1680 M). Sejarah Banten menyebut syekh tertinggi dengan sebutan “Kyai Ali” atau “Ki Ali” yang kemudian disebut dengan “Kali” (mengacu pada istilah Qadhi).
Negara ini dipenuhi oleh orang-orang besar, tidak sedikit di Negara ini yang bertitelkan guru besar baik guru besar dalam bidang hukum sipil maupun dalam hukum Islam tapi pertanyaannya kemana mereka disaat Negara sedang dilanda “penyakit kronik”?.(UJ)
5 Komentar:
salam sahabat
Indonesia semakin rame membahas korupsi dan sebuah tawaran ini menggambarkan kita untuk menjadi manusia yang jujur dan terhindar dari sifat rakus
Lebih mantap tuh China: tembak mati untuk koruptor.
Ada yang berani nggak ya, menerapkan ini?
saya s7 kalau ini diterapkan di indonesia
@Mbak Dhana: Salam Sahabat embali mbak....
saya sepakat dengan mbak, cuma pemimpin kita terlalu disibukkan dengan remeh temeh yg tak menentu, contohnya ketika dwacanakan potong tangan tuk koruptor bilang meanggar HAM, apa mrk pikir "maling" harta rakyat tidak melanggar hak...
@Dewi Fatma:Betul....kayaknya kita harus import pemimpin dari Cina nich
@Daris Firza:saya juga s7 sob, yang jadi persoalan sekarang yang akan menganulir misi ini, toch para pakar hukum kita juga adem ayem aja...
Thank's for all comment
kira2 akan seperti apa mas ya jika ini benar2 bisa diterapkan di indonesia?!??! tp sepertinya sih... hhmm...
Posting Komentar