Harian Umum INTERPOS [Kamis, 26 Juli 2012]
Oleh: Usman Jambak
Enam
puluh tujuh tahun hampir umur kemerdekaan bangsa Indonesia. Tidak dapat
dipungkiri, pemaknaan momentum kemerdekan tanah air tercinta Indonesia
dari rongrongan penjajah beberapa dekade terakhir ini seakan hilang
tanpa arah, berlalu tanpa arti. Bahkan, Ramadhan yang beberapa tahun
belakangan berbarengan dengan momentum kemerdekaan Indonesia ini juga
tidak menemukan arti pentingnya sebagai bulan kemenangan bagi umat
Islam.
Kehadiran tokoh-tokoh muda baik dipentas nasional maupun regional yang tercampak dari rule idealisme dan kodratnya sebagai avant garde baik
dalam perubahan maupun dalam pembangunan, seakan menambah suram potret
anak bangsa hari ini. Sebut saja beberapa kasus korupsi dan tindak
penyelewengan lainnya yang diawaki oleh generasi muda, mulai dari mafia
peradilan hingga mafia pajak. Penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya
dirisemakin banyak menjerat tokoh muda hari ini.
Berkaca
dari sejarah, generasi muda sebenarnya memiliki peran yang cukup
penting dalam merebut kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, 67 tahun
silam. Pemuda menjadi penggagas bagaimana kemerdekaan itu harus diraih
dan direbut bukan dengan pemberian oleh bangsa asing. Sebab itu mereka
menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Ini dimaksudkan agar para
pemimpin tak lagi hanya bergantung oleh “iming-iming” yang diberikan
bangsa asing.
Usman Jambak in Malaysia |
Setelah merdeka, kembali para pemuda tidak
tinggal diam begitu saja. Mereka mencermati bagaimana elite-elite
politik yang ada belum mengangkat kesejahteraan rakyat sebagaimana yang
termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila. Pemuda pun kembali bergerak
dengan segala idealismenya. Soekarno dengan segala kekuasaannya harus
rela turun dan Soeharto menggantikannya. Soeharto memang banyak
menjalankan pelaksanaan pembangunan negeri ini, tapi sayang di situ pula
ia bangun jaringan untuk mereguk pundi-pundi uangnya secara
kekeluargaan. Para pemuda lagi-lagi bergerak mencermati hal itu yang
kemudian mengantarkan dan mendorong lahirnya era reformasi 1998.
Ketercorengan
citra pemuda hari ini sebagai harapan bangsa mesti disadari. Hanya
dengan menyadarilah proyeksi ke depan dapat diperbaiki. Momentum
Ramadhan 1433 H sekarang ini, memang momen yang tepat dan masa yang baik
untuk berbenah. Tak salah jika sekiranya pemuda mengambil peranan yang
baik pada momentum ramadhan seperti saat ini. Pemuda harus kembali
menjadi avant garde bagi bangsanya. Untuk
merealisasikannya, setidaknya ada 3 dimensi yang selalu bergerak dalam
diri manusia dan keterkaitannya dengan Ramadhan yang harus dimaknai.
Tiga Dimensi Ramadhan
Pertama dimensi qalbiyah;
yaitu dimensi hati. Dimensi ini akan berkaitan dengan aqidah. Seberapa
besar pertambahan kualitas keimanan ketika Ramadhan masuk, dan hasilnya
akan terlihat setelah Ramadhan berakhir. Hitungannya ialah seberapa
besar perkembangan ibadah, keyakinan dan keinginan untuk menjadikan
semua aktivitas diri menjadi ibadah. Maka, anugerah pertama yang lahir
di bulan Ramadhan yang termanfaatkan adalah anugerah qalbiyah, atau keimanan.
Tentu
saja sangat merugi umat Islam yang mengabaikan datangnya bulan
Ramadhan, bulan penuh berkah, mahfirah, dan ampunan ini sehingga kelak
kita terhindar dari api neraka. Bila puasa kita berjalan dengan baik
maka sangat besar peluang dosa-dosa kita sebanyak apapun juga, kecuali
sirik, akan diampuni Allah SWT. Oleh karena itu, marilah kita
menjalankan ibadah puasa di siang hari dan melaksanakan amalan sunnah
lainnya di malam hari, seperti shalat tarawih, tadarus, zikir dll.
Berbahagialah mereka yang dapat melaksanakannya dengan sempurna, karena
imbalan pahalanya demikinan besar dan berlipat ganda. Bayangkan anda
tidak akan pernah bertemu lagi dengan Ramadhan mendatang sehingga
kualitas ibadah kita semakin fokus dan khusuk.
Dimensi kedua
adalah dimensi moralitas, bahwa Ramadhan harus bisa melahirkan pribadi
yang lebih baik lagi, Ramadhan bisa melahirkan sikap yang membahagiakan
untuk sesama umat. Inilah cita-cita kedua yang ditelurkan oleh pesantren
Ramadhan. Pelatihannya bisa dimulai dari belajar sabar, berbaik sangka,
mendahulukan yang penting dan prioritas. Pelatihan selama satu bulan
ini harus menjadi perubahan dan perbaikan sikap diri. Menjadi orang yang
lebih santun, menjadi orang yang ramah dalam pergaulan social. Oleh
karenanya, harus dipastikan Ramadhan ini bisa merobah moralitas diri
yang berujung pada perubahan moralitas kolektif.
Tidak
dapat dipungkiri ada dua syahwat terbesar tersebut berbanding sejajar
dengan realita kehidupan saat ini. Banyak kejadian yang menyimpang
berasal dari dua syahwat ini. Syahwat terbesar pertama yang datang dari
perut. Kita pasti dapat melihat, berapa banyak orang yang rela (mohon
ma’af) mencuri, “melacur”, bohong, korupsi, kolusi, nepotisme dan
lain-lain. Alasan semua itu dilakukan karena yang terbesar adalah karena
alasan perut. Di samping ada sebab-sebab lain yang mungkin
melatarbelakangi hal itu terjadi.
Syahwat terbesar kedua
yang disebutkan setelah perut adalah yang berasal dari kemaluan.
Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, dapat kita lihat
tingkat kejahatan yang ditimbulkan juga besar. Banyak kejahatan yang
ditimbulkan oleh syahwat ini. Asumsi di atas sebagai imbas dari realita
sekarang ini dengan semakin tingginya angka kejahatan pemerkosaan,
perselingkuhan, aborsi, hamil di luar nikah. Kejahatan itu tentunya
disebabkan ketidakmampuan manusia menahan syahwat yang berasal dari
kemaluannya.
Kejahatan-kejahatan yang berasal dari dua
syahwat terbesar di atas, menandai bahwa perlu adanya pembenahan
terhadap nilai moralitas. Tentu hal yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengambil hikmah terbesar dari ibadah puasa dalam perbaikan moralitas
dari syahwat yang berasal dari keduanya. Ibadah puasa tentunya sangat
besar pengaruhnya dalam mengerem laju kejahatan-kejahatan yang
disebabkan oleh hal tersebut di atas.
Dalam Islam tidak
ada upaya untuk membunuh kedua syahwat di atas, akan tetapi Islam
mengajarkan kepada kita untuk selalu mengendalikan kedua syahwat
tersebut. Salah satu cara untuk mengendalikan kedua syahwat tersebut
yaitu dengan ibadah puasa. Sering kita mendengar pepatah, mencegah itu
lebih baik dari mengobati. Pembinaan moral yang diajarkan oleh Islam,
salah satunya tentu melalui ibadah puasa ini karena puasa sangat besar
pengaruhnya untuk perbaikan moral bangsa.
Dimensi ketiga
adalah dimensi karakter. Dipastikan bahwa kita merubah segala karakter
kita menjadi perbuatan yang bernilai baik dan positif setelah Ramadhan.
Itulah yang disebut manusia paripurna. Maka diri yang sempurna adalah
diri yang sudah mampu merubah prilaku dan perbuatan menjadi lebih baik
lagi, menambah kebaikan, mengikis keburukan.
Sesungguhnya Ramadhan
merupakan metode yang didesain oleh Allah untuk perbaikan perbuatan
manusia, karena di dalamnya terdapat rangkaian proses ibadah agar
manusia menjadi lebih baik dalam segala hal. Lebih baik hatinya, lebih
pandai bersyukur, lebih peduli sesama, dan lebih bertakwa. Orang yang
bertakwa adalah orang yang hidupnya selalu bersama Alquran. Hidup
bersama Alquran artinya hidup bersama Allah. Itulah inti dari ibadah
puasa Ramadhan.
Alquran adalah petunjuk bagi umat manusia (hudan li al-nas), ia juga menjadi penyembuh (syifa’), dan penjelas (bayan) dan pembeda antara yang hak dan batil (furqan).
Alquran diturunkan supaya manusia bisa mengambil hikmah darinya dalam
menjalankan segala amanah dan perintah Allah serta menjauhi segala
larangan-Nya. Dengan demikian, orang yang mempelajari dan mengamalkan
Alquran akan mampu membedakan perbuatan baik dan buruk, benar dan salah,
serta halal dan haram. Karena itu, Ramadhan adalah momentum renovasi
hati agar karakter manusia kembali seperti saat dia dilahirkan. Kembali
pada fitrahnya.
Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan
bahwa bila hati seseorang baik, maka baik juga seluruh tubuhnya. Tapi,
bila hatinya rusak maka rusaklah seluruh perilakunya. Hati yang rusak
bisa disebabkan oleh banyak hal. Misalnya karena dengki, dendam kesumat,
nafsu serakah, egois, emosional, serta mau menang dan benar sendiri.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan Ramadhan ini sebagai sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan amal ibadah melalui
Alquran dan ibadah lainnya.
Membaca dan mempelajari
Alquran harus diniatkan dan ditekadkan untuk perbaikan hati agar lisan
kita tidak dusta dan perilaku sesuai dengan hati kita. Kita tegakkan
shalat agar tidak sombong, angkuh, dan menjadi rendah hati. Kita ulurkan
tangan, peduli sesama melalui sedekah, infak, dan zakat agar hilang
perasaan kikir dan bakhil dari hati kita.
Shiyam atau
puasa yang berkualitas akan tergambar pasca-Ramadhan. Bila karakter
seseorang semakin baik, kesadaran terbentuk dengan pola Alquran, pikiran
tidak liar, dan perasaan terkendali, sehingga tidak mudah menderita
sakit fisik, maka itulah salah satu tanda berhasilnya Ramadhan
seseorang. Sesungguhnya seluruh amal perbuatan anak cucu Adam adalah
untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya (Hadis Qudsi).
Kualitas
(karakter) hati hasil tempaan di bulan Ramadhan akan diuji setelah
Ramadhan nanti. Apakah selama 11 bulan ke depan kita bisa senantiasa
menghadirkan Ramadhan di hati kita atau dalam kehidupan kita. Karena,
Ramadhan adalah momen yang hanya terjadi setahun sekali. Wallahu ’alam. (*)
0 Komentar:
Posting Komentar