“Ada apa mak” ujar Hindun yang masih terengah-engah karena separoh berlari dari kamarnya.
“Kau, simak dan kau tontonlah acara ini, agar hatimu tak terlalu beku tuk minta maaf ke si Maih, lakimu itu”
Dengan menggelosoh di dekat Emak, Hindun bergumam antara terdengar dan tidak oleh emak di sampingnya “Eee..lah, itu lagi,itu lagi…”
“Apa yang kau cakap, apa kau kira aku sudah sedemikian tuli untuk tidak mendengar gerutuanmu”
Dengan muka memelas, Hindun minta maaf sama emak.
“Kau dengarlah baik-baik dialog yang dibawakan oleh pembawa acara dan narasumber itu dulu”, ujar emak yang sudah semakin kesal dengan ulah dan tingkah Hindun, anaknya yang bandel tidak mau di omongin itu.
Sementara lewat pegeras suara televise tetap mengalir diskusi pentingnya minta maaf karena akan memasuki bulan suci Ramadhan 1432 H.
Seakan-akan tayangan yang disajikan televise tersebut tidak berbobot, Hindun rebahkan badanny dan perlahan matanya mulai terpejam. Belum pulas tidurnya, sebuah suara lantang membangunkannya “Hindun, kau ini mau jadi anak durhaka ya?, disuruh menyimak jalannya diskusi yang ditayangkan televisi itu, kau malah tidur?. Apa kau tak mau berbersih-bersih masuk bulan suci ini, apa kau mau ibadah puasamu tidak diterima oleh Allah?” serang emak dengan berjubel pertanyaan.
Seolah tak mau dicap anak durhaka, Hindun melakukan pembelaan diri “Bukan begitu, mak. Minta maagf itu memang sesuatu yang disuruh dan diperintahkan oleh agama tapi semua itu lillahi ta’ala bukan karena selainnya seperti karena Ramadhan, kan banyak mak dengar orang yang minta maaf dengan alasan Ramadhan seperti mereka berucap karena kita akan memasuki bulan suci, mohon maaf lahir batin ya” jelas Hindun, sampai di sini dia sudah takut-takut. Takut dikatakan emak, mengajari emak yang sudah tua, yang sudah banyak makan asam garam katanya.
Karena emak masih diam membisu, Hindun melanjutkan penjelasannya “Tanpa mereka sadari, ucapan mereka yang menisbahkan maaf kepada selain Allah tersebut sudah dikotori dengan ketidak ikhlasan, sebab tidak ada ikhlas jika disandarkan kepada selain Allah”.
“Lalu sebaiknya bagaimana” ujar mak yang kelihatan sudah semakin paham dengan keengganan anaknya.
“Jadi, minta maaf itu disuruh oleh Allah dan merupakan perintah agama bukan saja ketika akan memasuki bulan suci tapi setiap saat” paparnya dengan mantap.
“Coba mak bayangkan, jika seandainya maaf dikaitkan dengan sesuatu seperti halnya Ramadhan, jika Ramadhan tidak ada tentu kita tidak akan saling bermaaf-maafan, bagaimana kita mengaplikasikan fa’fu wasfahu”
“Jika minta maaf ketika akan memasuki Ramadhan ini tidak perlu kita kaitkan dengan moment Ramadhan, begitu?” timpal mak.
“Iya mak, sebaiknya kita tidak kaitkan dengan Ramadhan karena akan mengotori keikhlasan kita saja, dan aku akan minta maaf ke Uda Maih, mantu mak itu tapi bukan karna kita akan masuk bulan puasa”.
Usman Jambak
Padang, Penghujung Sya’ban 1432 H